Begini Ngerinya Jika Daya Beli Makin Tergerus
Minggu, 13 Oktober 2024
Edit

Jakarta - Indonesia
mengalami deflasi selama lima bulan beruntun. Menteri Perdagangan Zulkifli
Hasan atau Zulhas mengakui ada penurunan daya beli yang menjadi penyebab
Indonesia mengalami deflasi berbulan-bulan itu.
Deflasi yang
beruntun ini terjadi sejak Mei-September 2024. Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat pada Mei 2024 terjadi deflasi sebesar 0,03% secara bulanan (mtm).
Kemudian pada Juni 2024 semakin dalam sebesar 0,08%. Pada Juli 2024 terus
memburuk tembus 0,18%. Pada Agustus 2024, angkanya kembali ke level 0,03%,
kembali memburuk pada September 2024 sebesar 0,12%.
"Nah,
ini memang satu, supply-nya karena musim hujan, musim panas, produksinya cukup.
Kedua, memang diakui daya beli agak turun," kata dia ditemui di sela Trade
Expo Indonesia, ICE BSD, Tangerang, Rabu (9/10/2024) lalu.
Lantas apa
dampaknya apabila daya beli semakin menurun?
Direktur
Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira
mengatakan apabila kondisi tersebut tidak segera dimitigasi, dampaknya dapat
terjadi resesi ekonomi hingga memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK)
massal.
"Pelaku
usaha sebagian memahami deflasi sebagai kekhawatiran permintaan ke depan
khususnya barang non kebutuhan pokok akan melemah. Sehingga mereka lakukan
efisiensi di berbagai lini," kata Bhima kepada detikcom, dikutip Jumat
(11/10/2024).
Selain itu,
dia melihat fenomena itu juga membuat pertumbuhan ekonomi di bawah 5% dan
penjualan surat utang yang menurun. Hal ini disebabkan investor yang
mengkhawatirkan kondisi domestik dalam negeri.
Tidak sampai
di situ, Bhima menyebut akan ada penyesuaian nilai proyek atau bahkan penundaan
proyek di pemerintahan mendatang karena dana dialihkan membantu daya beli
masyarakat. Selain itu, pelemahan nilai tukar rupiah akan mempengaruhi biaya
konstruksi dan dapat pembengkakan biaya apabila dipaksakan terus jalan. Adapun
program yang bakal terkena imbas, seperti pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN),
proyek kereta cepat jakarta surabaya, bendungan, pelabuhan, hingga penyelesaian
ruas jalan tol.
"Sebaiknya
panggil para ahli untuk cari solusi atau mitigasi. Pelaku usaha juga diajak
mempersiapkan skenario terburuk sehingga lakukan hedging atau lindung nilai
lebih baik," jelasnya.
Dia pun
menyarankan beberapa yang dapat menjadi solusi pemerintah, seperti menunda mega
proyek infrastruktur dan alihkan ke program perlindungan sosial untuk kelas
menengah rentan, perkuat sektor industri dengan tarik investasi yang lebih
berkualitas. Selain itu, mendorong sektor pertanian dan perikanan berkelanjutan
dengan bantuan APBN yang lebih besar, misalnya untuk subsidi pupuk, menurunkan
tarif PPN dari 11% ke 9%, serta menunda seluruh kebijakan yang meningkatkan
beban kelas menengah dari mulai dari dana pensiun wajib, Tapera, asuransi wajib
kendaraan bermotor, hingga PPN 12%.
Senada,
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal
mengatakan penurunan daya beli akan berimbas pada perlambatan pertumbuhan
ekonomi dan semakin melebarnya kesenjangan masyarakat, terutama antara kelas
menengah dan kelas atas. Padahal kelas menengah mesin bagi pertumbuhan ekonomi.
"Terkait
pertumbuhan ekonomi, kita prediksi tumbuh di bawah 5%. Jadi, sekitar 4,95%. Ini
tidak lepas dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga. Karena konsumsi rumah
tangga ini kan lebih separuh menyumbang ekonomi. kalau kelas menengah akan
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi jadi lebih lambat," katanya kepada
detikcom.
Apabila ini
dibiarkan lebih lanjut, tentunya akan berdampak pada pemerintahan baru. Untuk
itu, dia menyarankan Presiden Terpilih Prabowo Subianto agar memperhatikan
fenomena penurunan daya beli.
"Pemerintahan
baru harus memperhatikan masalah ini secara serius. Karena boro-boro mengejar
pertumbuhan ekonomi 8%, untuk di atas 5% saja dikhawatirkan tidak bisa kalau
kondisinya begini," tambahnya.
Sumber : Detik