Alasan di Balik Gaji Kecil Pekerja Indonesia
Sabtu, 05 Oktober 2024
Edit
Jakarta - Kontribusi sektor industri terhadap ekonomi
nasional tercatat kian menciut dari tahun ke tahun, alias mengalami
deindustrialisasi. Kondisi ini dinilai menjadi salah satu faktor yang membuat
banyak pekerja di Indonesia memiliki penghasilan rendah atau gaji rata-rata Rp
1,7 juta per bulan.
Deputi III Kantor Staf Presiden (KSP) Bidang Perekonomian
Edy Priyono menjelaskan pada dasarnya suatu negara secara alami akan mengalami
proses transformasi perekonomian, yang mulanya didominasi oleh sektor pertanian,
kemudian berganti dengan dominasi sektor industri, baru di tahap akhir adalah
dominasi sektor jasa.
"Jadi sebenarnya yang dipersoalkan bukan
deindustrialisasinya, karena kalau deindustrialisasi itu kan proses alamiah
yang tadi saya sampaikan. Karena pada akhirnya perekonomian semakin maju, itu
semakin besar peranan dari sektor jasa," kata Edy dalam seminar 'Evaluasi
Satu Dekade Pemerintahan Jokowi', Kamis kemarin.
Namun yang menjadi permasalahan adalah proses dominasi
sektor jasa di Indonesia terhadap perekonomian nasional terjadi jauh lebih
cepat, sebelum sektor industri tumbuh stabil. Akibatnya Indonesia mengalami
deindustrialisasi dini sejak 2001.
Ia menilai kondisi ini terus berlanjut, dan belum bisa
diselesaikan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam 10 tahun
terakhir. Terutama dalam beberapa tahun ke belakang saat sektor jasa Tanah Air
terus berkembang, namun sektor industri malah kian tergerus.
"Tetapi biasanya dominasi sektor jasa itu terjadi
karena sektor jasanya tuh makin naik sementara industrinya stabil. Di kita
nggak, industrinya ini turun, peran sektor industri terhadap PDB itu
turun," ucap Edy.
"Nah di kita, deindustrialisasinya terlalu dini,
sebelum mencapai level make sure, industri kita sudah tidak kompetitif lagi.
Sementara sektor jasa yang berkembang, itu jasa-jasa yang kalau boleh dikatakan
tidak menjamin kesejahteraan. Nah ini juga menjadi tantangan tersendiri,"
sambungnya.
Menurutnya kondisi ini secara langsung dapat memengaruhi
pembukaan lapangan kerja baru di Indonesia, yang mana selama Jokowi menjabat
sebagai presiden rata-rata hanya tercipta 2 juta lapangan pekerjaan per tahun.
Padahal angka angkatan kerja baru di Indonesia setiap tahun rata-rata mencapai
2,5 juta orang.
"Ini juga terkait dengan apa yang terjadi di pasar
kerja. Lapangan kerja yang tercipta setiap tahun hanya sekitar 2 juta, itu
tidak cukup, benar. Karena jumlah angkatan kerja baru di kita itu rata-rata
setiap tahun 2,5 juta," jelas Edy.
"Jadi setiap tahun tuh ada 2,5 juta (orang) pencari
kerja baru. Jadi kalau kita tidak menghasilkan lapangan kerja baru di atas itu,
akan ada masalah," tambahnya lagi.
Akibatnya, mereka yang tidak mendapatkan lapangan pekerjaan
formal beralih ke sektor pekerjaan informal seperti buruh lepas atau tidak
tetap hingga pekerja keluarga yang tidak dibayar (unpaid family worker).
Edy mengatakan secara umum banyaknya pekerja informal ini
tidak mempengaruhi angka pengangguran nasional. Namun dominasi pekerja informal
ini menurutnya dapat menjadi masalah jika dilihat dari sisi kesejahteraan
masyarakat, di mana rata-rata pendapatan para pekerja informal ini hanya Rp 1,7
juta per bulan.
"Kalau angka pengangguran kita baik-baik saja, tapi
lebih tercermin di sini, yaitu dominasi sektor informal. Sekitar 60% dari
pekerja kita saat ini adalah pekerja di sektor informal dengan penghasilan
sangat terbatas, rata-rata ya. Memang ada pekerja informal yang sejahtera ya
ada," ucapnya.
"Kita terlalu besar, 60% dari pekerja kita adalah
pekerja informal dengan rata-rata penghasilan hanya Rp 1,7 juta per bulan dan
ini memang masalah," terang Edy lagi.
Sumber : Detik