Terkuak Tambang Emas Ilegal WNA China di Kalimantan
Kamis, 26 September 2024
Edit

Jakarta - Kegiatan tambang emas tanpa izin di Kabupaten
Ketapang, Kalimantan Barat ditaksir menimbulkan kerugian mencapai Rp 1,020
triliun. Kerugian tersebut berasal dari cadangan emas yang hilang sebanyak
774,27 kg dan perak sebanyak 937,7 kg.
Dikutip dari laman Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara
(Ditjen Minerba) Kementerian ESDM, Rabu (26/9/2024), hal itu terungkap dalam
persidangan kasus pertambangan tanpa izin yang dilakukan warga negara asing
China (YH) di Pengadilan Negeri Ketapang, Kalimantan Barat (29/8).
Dari hasil penyelidikan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara, terungkap bahwa volume batuan bijih
emas tergali sebanyak 2.687,4 m3. Batuan ini berasal dari koridor antara
Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dua perusahaan emas PT BRT dan PT SPM
yang saat ini belum memiliki persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya
(RKAB) untuk produksi tahun 2024-2026.
"Dari uji sampel emas di lokasi pertambangan, hasil
kandungan emas di lokasi tersebut memiliki kadar yang tinggi (high grade).
Sampel batuan mempunyai kandungan emas 136 gram/ton, sedangkan sampel batu
tergiling mempunyai kandungan emas 337 gram/ton," bunyi laporan Ditjen
Minerba.
Dari fakta persidangan juga terungkap merkuri atau air raksa
(Hg) digunakan untuk memisahkan bijih emas dari logam atau mineral lain, dalam
pengolahan pertambangan emas ini. Dari sampel hasil olahan, ditemukan Hg
(merkuri) dengan kandungan cukup tinggi, sebesar Hg 41,35 mg/kg.
Dijelaskan, pelaku melakukan aksinya dengan memanfaatkan
lubang tambang atau tunnel pada wilayah tambang yang berizin yang seharusnya
dilakukan pemeliharaan, namun justru dimanfaatkan penambangannya secara ilegal.
Setelah dilakukan pemurnian, hasil emas dibawa keluar dari terowongan tersebut
dan kemudian dijual dalam bentuk ore (bijih) atau bullion emas.
Sesuai Pasal 158 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang
Mineral dan Batubara, pelaku terancam hukuman kurungan selama 5 tahun dan denda
maksimal Rp 100 miliar. Kejaksaan Negeri Ketapang masih terus mengembangkan
perkara pidana dalam undang-undang lain.
"Sidang selanjutnya akan dilakukan enam tahap sidang,
yaitu saksi dari pihak penasehat hukum, ahli dari penasihat hukum, pembacaan
tuntutan pidana (requisitoir), pengajuan/pembacaan nota pembelaan(pledoi),
pengajuan/pembacaan tanggapan-tanggapan(replik dan duplik), dan terakhir sidang
pembacaan putusan," bunyi laporan tersebut.
Sumber : Detik